Beranda | Artikel
Pemuda Gemblung
Senin, 12 November 2012

Istilah gemblung bagi orang Jawa mungkin tidak asing. Artinya sinting. Kisah berikut ini menunjukkan kepada kita bahwa sudah semestinya kita menjadi orang yang menghormati hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak melecehkannya.

Dalam rangkaian tanya-jawab bersama Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, Syaikh Dr. Sa’id bin Wahf al-Qahthani hafizhahullah menceritakan salah satu kisah yang beliau bawakan yang bersumber dari Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Berikut ini kisahnya:

Di dalam kitab as-Sunnah, ath-Thabrani meriwayatkan dari Zakariya bin Yahya as-Saji. Beliau mengisahkan: Dahulu kami sering menghadiri pengajian kepada sebagian guru/syaikh dalam rangka mendengar hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu saat kami agar tergesa-gesa mendatangi majelis mereka, dan bersama kami ada seorang pemuda yang ‘kurang beres’.

Pemuda itu mengatakan, “Angkatlah kaki-kaki kalian agar tidak menginjak sayap-sayap malaikat -sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa para malaikat meletakkan sayapnya mengelilingi majelis ilmu, pent- jangan sampai kalian mematahkan sayap mereka!” as-Saji berkata: Pemuda itu terus mengulangi ucapannya, hingga akhirnya kedua kakinya menjadi kaku (tidak bisa digerakkan, pent).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkomentar, “Kejadian-kejadian lain yang serupa juga ada. Kita memohon kepada Allah ta’ala agar tetap berpegang teguh dengan Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [1]

Inilah sebuah pelajaran bagi mereka yang suka melecehkan ajaran Nabi dan menolak hadits dengan akal dan pemikiran mereka. Bukankah Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengingatkan kepada kita, bahwa ilmu itu adalah Qolallahu wa qola rasuluhu -firman Allah dan sabda Rasul-Nya-. Demikian pula Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia berada di tepi jurang kehancuran.”

Allah ta’ala pun telah menegaskan dalam firman-Nya (yang artinya), “Tidaklah dia -Muhammad- berbicara dari hawa nafsunya. Tidaklah yang dia sampaikan melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm: 3-4). Allah jalla dzikruhu juga menyatakan (yang artinya), “Barangsiapa yang menaati rasul itu, maka sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisaa’: 80)

Imam al-Ashbahani rahimahullah berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya pemisah antara kita (Ahlus Sunnah, pent) dengan ahli bid’ah adalah dalam masalah akal. Karena mereka membangun agamanya di atas pemikiran akal semata. Mereka menjadikan ittiba’ dan atsar harus mengikuti hasil pemikiran mereka. Adapun Ahlus Sunnah, maka mereka mengatakan : Pondasi agama adalah ittiba’ sedangkan pemikiran itu mengikutinya. Sebab seandainya asas agama itu adalah pemikiran niscaya umat manusia tidak perlu bimbingan wahyu, tidak butuh kepada para nabi. Kalau seperti itu niscaya sia-sialah makna perintah dan larangan. Setiap orang akan berbicara semaunya. Dan kalau seandainya agama itu dibangun di atas hasil pemikiran niscaya diperbolehkan bagi orang-orang beriman untuk tidak menerima ajaran apapun kecuali apabila pemikiran mereka menerimanya.” [2]

Catatan Kaki:

[1] Lihat Su’alat Ibni Wahf li Syaikhil Islam, hal. 74

[2] Lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 336


Artikel asli: http://abumushlih.com/pemuda-gemblung.html/